Terletak di jantung kota Yogyakarta, Kampung Notoprajan adalah sebuah kawasan yang menyimpan lapisan sejarah, spiritualitas, seni, hingga transformasi lingkungan yang luar biasa. Wilayah ini bukan sekadar titik di peta Kemantren Ngampilan, melainkan ruang hidup yang merekam jejak bangsawan, mitos lokal, dan semangat gotong royong warga.
Asal-usul Nama dan Sejarah Awal
Kata "Notoprajan" berasal dari gabungan dua kata Jawa: “noto” yang berarti menata, dan “praja” yang berarti negeri atau kota. Secara harfiah, Notoprajan berarti "penata negara", dan nama ini melekat erat dengan sosok Pangeran Natopraja I, seorang bangsawan keturunan Pangeran Mangkudiningrat.
Kediaman keluarga ini, yang dikenal sebagai Ndalem Notoprajan, dibangun sekitar tahun 1823 pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V. Dalam perjalanannya, bangunan ini sempat dihuni oleh berbagai tokoh penting termasuk GRAj Maduretna dan GBPH Hadiwijaya, bahkan pernah menjadi kantor darurat Sri Sultan HB IX—tempat rapat dengan Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949. Kini, Ndalem Notoprajan telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya.
Spiritualitas dan Mitos Kampung
Di masa lalu, Notoprajan dikenal sebagai kampung yang sakral dan penuh kisah mistis. Salah satu mitos yang cukup terkenal adalah fenomena "lelayu tujuh jenazah", yaitu kepercayaan bahwa tujuh warga akan meninggal dalam waktu berurutan. Bagi masyarakat, hal ini menjadi bagian dari kepercayaan terhadap "pertanda alam" sekaligus gambaran betapa kuatnya spiritualitas di wilayah ini.
Spiritualitas ini berkembang seiring hadirnya Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah sejak 1918, yang menanamkan nilai-nilai pendidikan dan keagamaan secara kuat di tengah masyarakat. Bersama Kauman, Notoprajan menjadi basis penting gerakan Muhammadiyah di kota Yogyakarta.
Transformasi Lingkungan & Budaya Sungai
Warga Notoprajan dikenal aktif dalam penataan lingkungan. Gang-gang kampung dipenuhi tanaman sayur, program wall-plant menghiasi dinding rumah, dan sistem hidran kering dibangun secara mandiri untuk kesiapsiagaan bencana. Proyek ini bahkan menyerap dana hingga ratusan juta rupiah, bukti keseriusan warga dalam menjaga keselamatan dan estetika lingkungan.
Salah satu kebanggaan warga adalah kegiatan budaya "Jaga Kali Jaga" dan "Jogo X Jogo", yang digelar di bantaran Kali Winongo. Prosesi ini melibatkan bersih-bersih sungai, pengambilan air dari mata air sakral, pelepasan benih ikan, serta pertunjukan kesenian tradisional. Acara ini menjadi ruang ekspresi budaya sekaligus cara mempererat solidaritas antarwarga.
Seni, Tradisi, dan Budaya Hidup
Kampung Notoprajan tidak pernah kehabisan semangat berkesenian. Dalam ajang seperti Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) tahun 2011, Notoprajan tampil membanggakan lewat pentas dramatari, jathilan, musik religi, hingga parade dari anak-anak TK ABA—semua menunjukkan betapa budaya lokal masih hidup dan dihargai.
Tak hanya budaya besar, hal-hal kecil seperti kegiatan angkringan, kerja bakti rutin, pengolahan limbah, hingga pertunjukan seni jalanan menjadi bagian dari “budaya hidup” warga Notoprajan.
Notoprajan Hari Ini: Antara Tradisi dan Inovasi
Kini, Notoprajan bukan hanya kampung sejarah, tapi juga kampung masa depan. Dengan identitas sebagai kawasan yang:
-
Berakar pada sejarah bangsawan Mataram
-
Menjunjung tinggi nilai spiritual dan pendidikan
-
Aktif dalam pelestarian lingkungan dan budaya
-
Produktif dalam seni dan transformasi sosial
Notoprajan adalah bukti bahwa kampung kota bisa tumbuh menjadi ruang hidup yang berdaya, berbudaya, dan berkelanjutan.
"Di setiap langkahnya, Notoprajan tidak sekadar menatap masa lalu, tapi terus berjalan menuju masa depan—dengan akarnya di tanah sejarah dan daunnya menjulang ke langit harapan."

Posting Komentar untuk "Profil Kampung Notoprajan"